CERITA DEWASA KENIKMATAN TUBUH SEXY PENARI JALANAN

CERITA DEWASA KENIKMATAN TUBUH SEXY PENARI JALANAN


CERITA DEWASA KENIKMATAN TUBUH SEXY PENARI JALANAN , Hasrat-Bispak18 Seluruhnya orang didalamnya harus bertarung serta berkorban supaya tidak terdepak, serta tidak semuanya jalan yang dapat dilewati itu terang-benderang…Izinkan saya bercerita peristiwa hidup saya. Nama saya Darmini, tetapi orang tidak banyak yang mengetahui nama asli saya. Bapak dan Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa untuk anak wanita di daerah saya, namun maknanya tidak hanya itu. Denok  bermakna montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Zaman kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu-satunya Bapak serta Simbok, satu keluarga petani penggarap yang tidak berpunya. Semenjak kecil saya diajari menari oleh Simbok, karena beliau sendiri waktu muda yakni orang penari, serta sering ditanggap jika ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti saat satu hari saya serta Simbok menemukan Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak miliki banyak hutang karena sebab edan judi, serta beliau tak sanggup membayar hutangnya itu. Kami terang bersedih sebab Bapak tidak ada, dan juga kebingungan sebab sekian hari seusai Bapak disemayamkan, kami ditendang dari rumah lantaran rumah kami diambil broker judi yang memberikan hutang pada Bapak. Kami gak punyai lokasi tujuan, dan uang simpanan kami gak berapa. Simbok selanjutnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita bisa mencoba mencari uang, semoga dari sana mendingan dibanding di sini," kata Simbok.


Saya sekedar alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama gak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima sebab dipandang pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang gak butuh ijazah, rival banyak. Pada akhirnya seusai lumayan lama melihat bermacam peluang yang ada, Simbok memilih untuk menggunakan keterampilan kami. Hanya modal baju dan peralatan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa dan kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awali kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota lagi bersiap ujian akhir SMA atau melalui tahun awalan kuliah, serta yang di kampung menanti dijodohkan oleh orangtuanya, saya mengawali jalani kehidupan baru, menjual keterampilan seni tari bersama Simbok. Mulanya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, cuman cari keramaian di mana kami dapat peroleh sekian lembar rupiah buat melanjutkan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mendalami jalanan Ibu-kota untuk cari beberapa orang yang pengen kami hibur dengan tarian kami. Nyatanya tidak mudah pun cari uang lewat langkah seperti berikut, paling-paling yang kami peroleh hanya untuk makan kami berdua, satu atau 2x di hari itu. Dan gak di semua tempat kami dapat mendapatkan pemirsa yang siap bayar, kadang kami justru ditendang atau dihardik. Selesai cukuplah lama, kami berjumpa tempat di mana kami dapat terus bisa pirsawan dan uang: satu pasar induk yang lumayan besar, serta lingkungan disekelilingnya. Kami lantas sewa satu kamar kontrak murah di dekat Pasar. Banyak orang-orang di Pasar, asal dari kelompok menengah ke bawah, haus kesenangan murah yang dapat membikin mereka ingat daerah masing-masing. Hadirnya kami di situ terus disongsong senyuman, tawa, serta helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Kendati pun seringkali helai-lembar itu diserahkan ke kami oleh kurang santun semisalnya dengan diselinapkan ke kemeja kami. Apa saya dan Simbok memanglah merayu? Entahlah ya. Saya sendiri tidak berasa elok. Menjadi anak petani yang kerap main di luar sejak mulai kecil, kulit saya jadi cukup gelap terbakar matahari. Namun Simbok  sejak dulu terus membimbing serta memperingatkan saya buat menjaga badan kendati dengan langkah simpel, jadi kendati sawo masak, kulit saya masih mulus dan tak jerawatan apa lagi bopeng-bopeng lho. WAJIB 4D


Oh iya, barusan kan saya telah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipertimbangkan betul pula sich kalaupun disebut saya montok. Gak tahu mengapa, meski rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepres, kok tetap juga tubuh saya dapat saja ya. Saat sebelum remaja saja tetek saya telah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur sampai saya terus risau dengan kemben saya tiap-tiap kali menari. Pantat saya  cepat karena dibikin latihan olah badan dalam tarian. Ada yang omong bahenol, saya sich matur nuwun saja bila ada yang menganggapnya demikian. Bingungnya, meski atas bawah besar, tengahnya tidak turut besar, perut dan pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya kelihatannya kelak tubuh saya bakal menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, jika Simbok itu benar-benar elok. Hingga usia begitu juga beliau masih tetap elok. cerpensex.com Apa lagi bila sudah gunakan sanggul serta dandan, wuihh. Seluruh orang nengok dan gak saksikan apapun kembali. Saya sendiri selalu terasa buruk lho kalaupun tampil bersama Simbok. Ah, tetapi sedunia cuman saya sendiri yang nganggap muka saya buruk. Kecuali Simbok, beberapa orang yang umum lihat kami menari kok seluruhnya katakan saya elok. Saya pikirkan, ini sih pinter-pinternya Simbok merias saya saja. Waktu pertamanya didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk sangat. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk dan kembang. Muka perlu dibedaki tebal-tebal, hingga sampai lain warna dengan tubuh. Barangkali tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang gak ketutupan. Alis saya yang telah tebal dibuat lebih tebal. Bibir  diberikan gincu warna merah oke. Saya kala itu ngeluh,


"Kok telah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu tidak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita perlu buat suka yang tonton."


Makin lama saya biasa pun pakai dandanan sesuai itu, malahan saya menjadikan guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis setiap hari terbentuk penganten, sesaat bila nikah betulan harus seperti apakah diriasnya?" Dandan paras yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, sama dengan kemben, kain batik, serta selendang. 


Namun betul-betul yang bernama nasib itu jalannya tidak ada yang mengetahui. 2 bulan kami tinggal di dekat Pasar, bencana tiba kembali. Waktu sedang nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cedera kronis. Saya cemas, beberapa orang di sekeliling beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Tetapi Simbok gak terbantu. Simbok mati di rumah sakit sesudah 2 hari dua malam usaha ditolong dokter dari sana. Sebetulnya mulai sejak ketabrak  Simbok telah tidak ada asa, namun tidak tahu mengapa beliau lama sekali wafatnya. Sekaratnya hingga sampai sepanjang hari. Hingga gak sampai hati saya menyaksikannya. Saat itu ada yang bisik-bisik, kemungkinan Simbok pasang susuk, sebab itu wafatnya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara begitu. Namun apa itu betul atau tidak, saya tak mau tahu, biarkan itu menjadi rahasia Simbok. Saya pada akhirnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis untuk mbayar rumah sakit dan penguburan, justru harus berutang kemanapun. Saya gak dapat melaksanakan acara beberapa macam buat Simbok, cuma dapat doakan sendiri mudah-mudahan roh Simbok dapat tenang di alam sana serta bertemu kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di sewa saja sebab begitu sendu. Barangkali setiap hari saya menangis, bersedih ingat Simbok,  kesepian. Selanjutnya saya memaksakan diri buat keluar kembali, ngamen kembali, sebab uang udah habis dan saya  perlu lawan beberapa tukang tagih hutang yang tak mau tahu kesukaran saya . Maka, satu minggu selepas Simbok disemayamkan, saya kembali bersiap buat keluar, menari. Didepan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul serta kembang, saya bedaki muka saya agar tidak terlihat sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, cocok keluar kamar saya justru bertemu dengan ibu yang miliki sewa. Sang ibu gak gunakan basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya gak miliki uang, jadi saya cuman dapat ngomong maaf, serta sang ibu justru ngancam secara lembut. Gak apapun gak bayar, ucapnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok gak habis-habis ya hambatan untuk saya. Saya pengen upaya dahulu, kata saya, kelak dapat saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA KENIKMATAN TUBUH SEXY PENARI JALANAN


Apesnya, hari itu pasar lumayan sepi, serta sehabis dua jam saya anyar bisa Rp5000 setelah menari di pangkalan ojek. Saya tidak dapat fokus, kepala dipenuhi dengan ingatan, bagaimana triknya biar kelak bila pulang sudah memiliki cukup uang buat bayar sewa. Belum beberapa utang yang lain. Saat siang, saya lagi jalan di barisan beberapa toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya menyaksikan Juragan lagi hitung segepok uang. Beliau barusan terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya masa itu sekedar tahu beliau menjadi ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau udah tua, lebih tua ketimbang Simbok, kemungkinan umurnya udah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis serta jenggotnya jarang. Tubuhnya besar serta perutnya gemuk. Sekali kedua kalinya saya serta Simbok pernah menari di muka tokonya, serta pegawai-pegawainya memberinya kami uang tetapi beliau tak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang terhadap Simbok, dan Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendekati Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot di serta ada di belakang. Tokonya tengah sepi, tak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan menyaksikan saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Namun saya harus ngomong. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya udah habis untuk cost penguburan Simbok… saat ini saya harus bayar kontrak dua bulan…"


"Hah?" Juragan memandang saya dengan aneh, "Kamu butuh uang?"


"Tolong, Juragan," saya mengharap kembali, "Saya udah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji dapat balikkan secepat-cepatnya."


Eh, kok Juragan langsung menyimpan segepok uang barusan ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberikan hutang. Kamu penting uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini  kembali kerja, Juragan," saya geram namun tak berani menunjukkan; kelihatannya Juragan tidak ingin pinjamkan uang. "Cuman ngerinya saya tak dapat cukup dapat uang ini hari buat membayar kontrak. Bila berjualan, saya nggak miliki apapun, perlu jual apa?"


Namun selanjutnya tatapan Juragan kok beralih jadi aneh… Beliau dekati saya serta memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang omong kamu tidak mempunyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengen kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga sampai pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut. WAJIB 4D


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan selalu terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengandaikan apa artinya itu.


"Kalaupun kamu pengin, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan kedepan," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya harus bagaimana? Saya penting uang, namun apa perlu melalui langkah semacam ini? Namun kalaupun tidak, bagaimana kembali? Yang ada saya bakalan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama pula. Saya gak miliki alternatif lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga sampai gak terdengaran. Bila saja gak ketutupan bedak, kemungkinan telah tampak muka saya beralih merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga sampai tergoyang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan rupanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan tidak punyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya selalu menyaksikani lantai, tak berani mengusung kepala, namun adakalanya saya ngintip ke sana-kemari memandang situasi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang memperlihatkan Juragan dengan orang wanita—istrinya kah? Juragan menggamit tangan saya masuk ke satu kamar. Ruang tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sembari tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mempelajari sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sembari ngomong,


"Denok, angkat kepalamu, tonton saya." Saya nurut. Barangkali ia saksikan mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," ucapnya.


Ia simpan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, memandang uang itu. Besar sekali untuk saya. Umumnya sepanjang hari menari saya tak pernah mendapat uang sejumlah itu. Tetapi saya selalu kuatir. Juragan mendadak pengen ambil kembali uang itu.


"Bila tak ingin ya udah," tuturnya dengan suara kurang suka.


Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Cocok tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum menyaksikan saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Buat orang gairah ajah…" saya tonton Juragan nyengir lebar selesai bicara itu. sumpah, anyar ini kali ada laki laki buka-bukaan ngaku sesuai itu.


Helai uang lima puluh ribu baru saja ditempatkan Juragan di samping saya ia mengambil, lipat, lalu ia berikan ke… aduh! Ia berikan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," tukasnya. Duh, tidak yakin rasanya. Awalnya saya dan Simbok harus menari sepanjang hari, hingga pegal-pegal, buat memperoleh uang kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya mendapat duit sekitar itu … kok enteng sekali?


"Betulan buat saya…?" Tetap tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka seluruhnya," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang katakan itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben masih ditahan tangan saya, serta kainnya melaju demikian saja tiada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya bisa peroleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan meminta saya membuka pula kain batik coklat yang saya gunakan.


Karena kemungkinan barusan saya malu dan pelan satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya dan menyibak kain batik saya. Saya seketika mundur, tetapi tangan Juragan terus menggenggam bahu saya.


"Gak boleh takut, Denok…" tuturnya.


Juragan pun menggenggam paha saya masih beberapa tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Nada "Eihh" keluar mulut saya, malu karena sentuhan Juragan. Tangannya terus nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bergesekan dengan kulit paha saya, serta saya kian deg-degan. Ia terus remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar nada beberapa macam dari mulut saya. Tangan satunya selalu nyibak kain saya, hingga sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, tengah diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga paha saya udah dikeluarkan dari balutnya, sedikit kembali kancut saya terlihat!


"Tiduran saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya terus nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang masih belum saya lepas (apa sebaiknya saya lepas ?) ngganjal belakang kepala saya. Dan sekalian saya rebah itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya untuk pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya ragu, tetapi tidak tahu mengapa, saya pun kok merasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok seperti ini jadi? Juragan tak henti lihat sekujur badan saya, sekalian beri pujian.


"Marilah donk, tidak perlu tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, kalaupun kamu ingin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya tidak ada yang tutupi. Saat ini kancut saya tampak.


"Euh… Juragan… pengen pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama